Saya bukan siapa-siapa. Hanya seorang pengamat kecil di tengah riuhnya arus teknologi yang begitu cepat. Tapi akhir-akhir ini, pikiran saya terusik. Di sekitar saya, orang-orang mulai membicarakan AI (Artificial Intelligence) dengan begitu antusias—seolah ini adalah jawaban dari semua masalah. Tapi saya justru merasakan keresahan yang semakin dalam.
Saya berpikir: jika segala urusan dapat dipermudah oleh AI—dari menulis, melukis, mengajar, hingga membuat keputusan strategis—lalu apa yang tersisa dari manusia itu sendiri ? Apakah kita masih memiliki nilai ? Di manakah tempatnya karya manusia yang lahir dari peluh, kesedihan, cinta, dan perjuangan panjang, jika semua bisa dibuat dalam hitungan detik oleh mesin?
Saya merasa, karya manusia akan kehilangan nilainya. Pendidikan yang dulunya menekankan proses berpikir, kini dikhawatirkan akan menjadi sekadar aktivitas konsumsi jawaban instan. Seni yang dulu lahir dari pengalaman batin kini mulai digantikan oleh simulasi estetika tanpa jiwa. Intelektualitas yang dahulu dibangun dengan ketekunan dan kontemplasi, kini disamakan dengan kecepatan produksi dan data yang melimpah.
Namun yang paling mengganggu pikiran saya adalah ini: apakah AI akan membuat manusia kehilangan rasa menghargai sesama manusia?
Ketika kita terbiasa dibantu oleh teknologi yang sempurna, cepat, dan selalu siap, apakah kita masih bisa sabar terhadap keterbatasan manusia lain? Ketika kita bisa bertanya apa pun pada mesin dan langsung mendapat jawaban, apakah kita masih bisa mendengarkan dengan empati kepada orang yang bicara dengan terbata-bata? Ketika kita mulai bergantung pada AI untuk memberi nasehat, menghibur, bahkan menjadi teman, apakah kita masih mau hadir untuk satu sama lain?
Saya percaya, manusia itu bernilai bukan karena efisiensinya, tapi karena kemampuannya untuk merasakan. Untuk gagal dan belajar. Untuk hadir dan memberi makna. Untuk menghargai bukan karena hasil, tapi karena proses.
Tentu, saya tidak menolak AI. Teknologi bukan musuh. Tapi jika kita tidak hati-hati, kita akan membiarkan teknologi merampas sesuatu yang paling mendasar dari kita: kemanusiaan.
Saya melihat AI seperti senjata perang. Seperti halnya senjata kimia atau nuklir yang dulu ingin dilarang, nyatanya tetap dikembangkan oleh banyak pihak untuk kepentingannya sendiri. Dengan dalih keamanan, kemajuan, atau efisiensi. Dan saya rasa, AI juga akan begitu. Selama masih ada keinginan menguasai, teknologi ini tidak akan berhenti. Masyarakat sipil, menurut saya, tak lagi cukup kuat membendungnya—karena kita semua sudah menjadi bagian dari sistem itu sendiri. Kita menjadi bagian dari “virus” yang dulu kita khawatirkan.
Maka, perlawanan terhadap AI yang merusak nilai manusia bukanlah dengan melarang atau menghentikan, tapi dengan menciptakan teknologi tandingan. Seperti virus dilawan dengan antivirus, AI harus dilawan dengan AI yang berlawanan—yang menjaga nilai, bukan menghapusnya. Yang menjaga relasi, bukan menggantinya. Yang menjaga kemanusiaan, bukan menirunya.
Saya tidak punya jawaban pasti. Tapi keresahan ini penting untuk disuarakan. Karena di tengah dunia yang sibuk memuja teknologi, saya ingin tetap percaya bahwa yang paling berharga dari manusia adalah kemampuannya untuk menghargai manusia lain.
Dan jika itu hilang, maka tak ada teknologi apa pun yang bisa mengembalikannya.
Catatan Penutup Tulisan ini adalah bagian dari refleksi pribadi yang saya rasa perlu dibagikan, bukan untuk menentang kemajuan, tapi untuk mengingatkan: jangan sampai kita tersesat dalam kecanggihan hingga lupa siapa kita. Saya mengajak para pendidik, pembuat kebijakan, peneliti, dan masyarakat umum untuk tidak hanya bicara soal “apa yang bisa dilakukan AI”, tapi juga “apa yang seharusnya tidak kita serahkan kepada AI”. Karena nilai sejati manusia bukan pada kecepatan, tapi pada kemanusiaan itu sendiri.
Penulis:
Bambang Pujiarto
Dosen Program Studi Teknologi Informasi UNIMMA