Oleh: Bambang Pujiarto, M.Kom, dosen Teknologi Informasi, Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA)
JUMAT, 1 AGUSTUS 2025 | 13:03 WIB
MAGELANG, Konsep “Metaverse”, sebuah dunia virtual tiga dimensi (3D) yang imersif, terus menjadi pusat perhatian sekaligus perdebatan sengit di kancah teknologi global. Didorong oleh visi ambisius Mark Zuckerberg dan investasi miliaran dolar dari Meta, Microsoft, dan NVIDIA, metaverse dijanjikan sebagai evolusi internet berikutnya.
Namun, di tengah gelombang antusiasme tersebut, data menunjukkan realita yang berbeda. Platform metaverse terkemuka seperti Decentraland masih berjuang dengan jumlah pengguna aktif harian yang relatif rendah, memicu pertanyaan fundamental: apakah metaverse adalah masa depan yang tak terelakkan, atau sekadar proyek ambisius yang belum menemukan pasarnya?
Definisi dan Potensi Ekonomi Baru
Secara sederhana, metaverse adalah ruang virtual bersama tempat pengguna, yang diwakili oleh avatar, dapat berinteraksi satu sama lain, bekerja, bermain, dan bertransaksi. Berbeda dengan internet saat ini yang berbasis layar, metaverse menawarkan pengalaman embodiment rasa kehadiran di dalam ruang digital.
Potensi terbesarnya terletak pada penciptaan ekonomi digital baru. Melalui teknologi blockchain seperti NFT (Non-Fungible Token), pengguna dapat benar-benar memiliki aset digital mulai dari sebidang tanah virtual, karya seni, hingga item mode untuk avatar.
Tantangan Fundamental yang Menghadang
Meskipun visinya terdengar revolusioner, para kritikus menunjuk pada sejumlah kendala serius yang menghambat adopsi massal.
- Kematangan Teknologi: Perangkat keras seperti headset Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) masih dianggap mahal, berat, dan sering kali menyebabkan ketidaknyamanan fisik (motion sickness). Pengalaman imersif yang mulus masih jauh dari kenyataan.
- Privasi dan Keamanan Data: Pengumpulan data di metaverse bisa jauh lebih intrusif. “Jika data klik dan suka hari ini sudah sangat berharga, bayangkan nilai data tentang gerakan mata, respons emosional, dan interaksi sosial Anda. Ini adalah frontier baru bagi isu privasi,” kata seorang pengamat keamanan siber.
- Kesenjangan Digital: Ada kekhawatiran bahwa metaverse hanya akan dapat diakses oleh mereka yang memiliki perangkat canggih dan koneksi internet berkecepatan tinggi, yang berpotensi memperlebar jurang digital global.
Masa Depan: Pertarungan Visi dan Regulasi
Saat ini, masa depan metaverse berada di persimpangan krusial antara dua visi yang saling bertentangan. Di satu sisi, ada model terpusat yang didorong oleh korporasi besar seperti Meta, yang berpotensi menciptakan “taman bertembok” di mana perusahaan mengontrol data dan aturan mainnya. Di sisi lain, ada visi terdesentralisasi berbasis Web3, di mana platform dibangun di atas blockchain, memberikan kontrol dan kepemilikan kepada komunitas pengguna.
Pada akhirnya, arah perkembangan metaverse tidak hanya ditentukan oleh para raksasa teknologi, tetapi juga oleh bagaimana publik, regulator, dan komunitas kreator merespons tantangan dan peluang yang ada. Apakah ia akan menjadi ruang terbuka untuk inovasi atau sekadar platform komersial yang terkontrol, jawabannya masih ditulis hari ini.
Sebagai kampus terkemuka di Magelang, Universitas Muhammadiyah Magelang melalui program studi Teknologi Informasi menginisiasi sebuah produk inovasi yang menerapkan teknologi Metaverse. Produk yang dihasilkan adalah sebuah prototipe Metaverse Ekowisata Borobudur hasil karya dosen dan mahasiswa UNIMMA sebagai bentuk kepedulian kampus terhadap permasalahan masyarakat wisata di kawasan Borobudur.