Di tengah gempuran arus informasi digital, dakwah Islam menghadapi tantangan baru: bagaimana menyampaikan pesan-pesan keislaman yang relevan, mudah diakses, dan tetap mengakar pada nilai-nilai sosial dan budaya lokal. Berangkat dari kegelisahan inilah, saya mencoba menyusun sebuah kerangka model e-dakwah yang tidak hanya bersandar pada kecanggihan teknologi, tetapi juga memadukan aspek sosial dan psikologis umat. Hasil riset disertasi ini bukan sekadar wacana, melainkan fondasi bagi sistem dakwah digital yang lebih inklusif dan membumi.
Penelitian ini merancang kerangka e-dakwah berbasis integrasi tiga teori utama: Technology Acceptance Model (TAM), Social Information (SI), dan Social Cognitive Theory (SCT). Pendekatan ini bertujuan menjawab rendahnya penerimaan teknologi dakwah digital, yang kerap hanya mengandalkan fitur tanpa menyentuh aspek sikap, niat, atau perilaku pengguna. Dengan pendekatan ini, saya mengusulkan sembilan variabel utama yang terbukti berpengaruh terhadap keberhasilan adopsi e-dakwah, mulai dari persepsi kemudahan, konten yang berkualitas, hingga pengaruh sosial dan dukungan infrastruktur.
Kerangka Sistem
Kerangka ini diuji melalui kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif: literature review sistematis, FGD, validasi ahli, serta pengujian model dengan teknik statistik SEM-PLS dan System Usability Scale. Hasilnya menunjukkan bahwa kerangka ini mampu membangun aplikasi dakwah digital yang tidak hanya user-friendly, tetapi juga secara signifikan mendorong perubahan perilaku keagamaan di masyarakat. Model ini telah diuji pada berbagai kelompok pengguna, termasuk kader dan aktivis dakwah Muhammadiyah di tingkat daerah.
Mengapa Muhammadiyah? Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar dan paling progresif di Indonesia, Muhammadiyah memiliki infrastruktur, jaringan, dan komitmen kuat dalam menyebarkan nilai-nilai Islam berkemajuan. Namun, transformasi digital dakwah masih berjalan setengah hati. Model ini saya tawarkan sebagai solusi strategis bukan untuk menggantikan metode konvensional, tapi untuk melengkapi dan memperluas jangkauan dakwah secara massif dan terukur. Platform ini bahkan bisa diadopsi oleh organisasi Islam lainnya yang memiliki semangat serupa.
Saya berharap temuan ini tidak berhenti sebagai dokumen akademik di rak perpustakaan, tapi menjadi pijakan dalam membangun sistem dakwah berbasis komunitas, adaptif terhadap zaman, dan tetap berpijak pada kearifan lokal. Dengan kolaborasi antara akademisi, praktisi dakwah, dan pengembang teknologi, inilah saatnya kita menghadirkan dakwah digital yang tercerahkan: berdaya guna, berbudaya, dan bermartabat.