Kalimat itu terlontar dari salah satu dosen Prodi D3 Teknologi Informasi Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA) saat mengenang pertemuan pertamanya dengan Dwi Kusuma Wirawan, mahasiswa berkebutuhan khusus yang akhirnya lulus pada tahun 2022.
Di awal kuliah, tidak banyak yang tahu bahwa Dwi adalah seorang tuli. Ia hadir seperti mahasiswa lain: duduk rapi, membuka laptop, dan memegang HP. Tapi ada yang berbeda, Dwi tampak selalu mengikuti ke mana dosennya berjalan, memperhatikan layar HP, dan sesekali menatap ke arah bibir sang dosen.
“Saya kira dia menonton sesuatu. Tapi ternyata, dia menggunakan aplikasi pengubah suara menjadi teks di HP-nya. Itulah cara dia ‘mendengar’ materi kuliah,” ujar sang dosen pemrograman dengan mata berbinar.
Kuliah Bukan Sekadar Duduk di Kelas
Di Prodi D3 Teknologi Informasi UNIMMA, pembelajaran tidak selalu kaku. Dosen sering berjalan ke sana kemari, menulis di whiteboard, menunjukkan contoh program lewat laptop dan bahkan langsung kuliah dilapangan lanbgsung. Untuk Dwi, ini menjadi tantangan tersendiri.
Namun, teknologi menjadi sahabatnya. Melalui sebuah aplikasi yang yang dapat mengubah suara menjadi teks, ia bisa memahami setiap penjelasan dosen. Ia aktif bertanya, berdiskusi lewat teks, dan tak ragu menyampaikan pendapatnya. Teman-teman sekelasnya pun perlahan belajar, belajar untuk sabar, untuk memahami bahasa isyarat, dan belajar tentang keberagaman.
Tugas Akhir yang Dikerjakan Sendiri
Tugas akhir di Prodi D3 bisa dikerjakan secara berkelompok. Tapi Dwi memilih jalan yang berbeda. Ia ingin menantang dirinya sendiri. Dengan kepercayaan diri yang tinggi, ia mengembangkan sebuah aplikasi Android untuk belajar bahasa isyarat sebuah kontribusi nyata sebagai ketua FORDA (Forum Ramah Difabel) Unimma sepertinya.
Aplikasi itu bukan sekadar program sederhana. Di dalamnya, Dwi menyusun materi, antarmuka yang ramah pengguna, berdasarkan pengalamannya selama ini dan bahkan dokumentasi yang rapi. Ini bukan hanya soal nilai, tapi soal dedikasi dan makna.
Sidang Tugas Akhir yang Tak Terlupakan
Tiba saatnya sidang tugas akhir. Seperti halnya mahasiswa lain, Dwi harus mempresentasikan hasil kerjanya di depan para dosen penguji. Tapi bagaimana jika ia tak bisa mendengar pertanyaan? Bagaimana jika penguji tak paham bahasa isyarat?
Solusinya? Prodi D3 TI UNIMMA menghadirkan Penerjemah Bahasa Isyarat (PBI).
PBI ini yang menjadi penghubung komunikasi antara mahasiswa dengan dosen penguji.
Namun, tidak semua pertanyaan mudah diterjemahkan, terutama istilah teknis Coding seperti looping, API, atau array dan istilah lainnya. Di sinilah Dwi mengambil alih: ia membuka source code-nya sendiri dan menunjuk bagian yang dimaksud, menjelaskan melalui teks dan gestur dan membuat penguji memahami dengan tepat.
Itulah momen ketika “difabel” tak lagi berarti “terbatas”, tapi justru menunjukkan kemampuan luar biasa dalam beradaptasi, menyampaikan ide, dan bertanggung jawab atas hasil karyanya.
Bukti Nyata: Inklusi yang Hidup di Kampus
setelah lulus, Dwi sudah bekerja di Ungaran Sari Garment (USG) membuktikan bahwa lulusan difabel juga bisa langsung diterima di dunia kerja. Saat masih menjadi mahasiswa, ia bahkan pernah menjadi Ketua UKM FORDA (Forum Ramah Difabel) UNIMMA beberapa periode, menjembatani komunikasi antara kampus dan mahasiswa berkebutuhan khusus.
Perjalanannya adalah cerita tentang ruang inklusi yang sesungguhnya, bukan sekadar jargon. UNIMMA, melalui Prodi D3 Teknologi Informasi, membuktikan bahwa pendidikan tinggi bisa dan harus menjangkau semua.
Karena dalam dunia yang semakin digital, teknologi bukan hanya alat bantu, tapi juga jembatan menuju kesetaraan.